CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Selasa, 07 Juni 2011

Inikah Akhir Hidupku

Disore hari yang sangat sejuk, aku berjalan dengan santainya seraya melihat lihat perumahan disekitar komplek ini yang asri ini.

Namaku Ashilla Zahrantiara. Aku biasa dipanggil dengan nama Shilla. Aku adalah seorang wanita yang masih berumur 17 tahun dan baru duduk dibangku kelas XI. Aku mempunyai seorang kakak yang bernama Gabriel Stevent. Aku biasa memanggil dia adalah kak Iel. Aku sangat menyayangi kak Iel. Sama dengan aku menyayangi kedua orang tuaku yang telah tiada. Sedangkan aku tinggal di rumah bersama kak Iel dan Om ku. Orang tuaku? Orang tuaku sudah meninggal sewaktu aku masih berumur 10 tahun. Mama dan papaku meninggal akibat kecelakan pesawat sewaktu pulang menuju Bandung dari Batam. Di rumah, selain ada kakaku dan omku, ada juga 2 orang pembantuku dan seorang supirku. Aku pun mempunyai sahabat yang baik dan selalu ada disisiku meskipun aku dan mereka baru bersahabat sejak duduk di kelas 2 SMP. Mereka adalah Sivia , Nova, Debo, dan Rio. Dan sekilaslah tentang aku.

Ketika aku sedang berjalan dengan santainya, tiba tiba Rio datang dan menghampiriku. Aku dapat bertemu dengan Rio seperti itu karna kebetulan sekali, rumahku dan rumah keempat sahabatku berada di satu komplek yang sama akan tetapi berjarak cukup jauh antar rumah

“Hey Shilla” sapa Rio padaku.
“Hey Rio. Lagi apa kamu sore sore gini ada diluar?” tanyaku padanya.

“Tadi aku abis dari rumah Debo. Minjem buku Kimia. Kamu sendiri ngapain jalan sendirian?”
“Oh. Aku sih cuman ingin nyari udara segar aja. Ya udah deh aku duluan ya, yo. Besok kita ketemu di sekolah. Oke? Bye” pamitku langsung pergi berlalu dari hadapan Rio. Dari kejauhan, Rio melambaikan tangannya padaku.

“Shilla pulang!!!” seruku menutup pintu rumah.
“Eh Shilla. Dari mana saja kamu?” tanya om ku yang menghampiriku.
“Tadi abis dari luar om. Ya udah Shilla ke kamar dulu ya om” aku langsung beranjak pergi ke kamarku.

Selepas aku datang ke kamarku, aku langsung menghempaskan tubuhku ke tempat tidur yang telah bertahun tahun bersamaku. Tapi, sewaktu aku sedang menatap langit langit kamarku, tiba tiba kepalaku mulai terasa sakit.

‘Uuuhhh’ desisku kesakitan. Kepalaku sungguh terasa sakit sekali. Apakah penyakitku kambuh? Oh, tidak. Jangan sampai penyakitku kambuh dengan parah lagi. “Ka Ielll!!! Omm!!!” panggilku dengan sekuat tenaga yang aku punya saat itu. Tak lama, kak Iel dan Om ku berlarian memasuki kamarku dan langsung menghampiriku yang kesakitan.
“Shilla kamu kenapa, Shill?” tanya kaka Iel padaku dengan panik. Aku hanya terdiam membisu dengan memegang kepala bagian kananku yang terasa sakit sekali.
“Shilla ayo jawab! Penyakit kamu kambuh lagi?” desak om bertanya kembali padaku.
“Kepala Shilla sakit banget, ka. Sakit bangettt” ujarku akhirnya menjawab.
“Tunggu sebentar. Om telepon dokter dulu ya. Iel, jaga Shilla dulu” ucap om ku lalu pergi keluar kamarku menelepon seorang dokter langgananku.

Sedikit lagi tentang diriku. Selain aku adalah anak yatim piatu dan hanya tinggal dengan kakaku dan om ku, aku punya penyakit yang cukup ganas yang berhubungan dengan otakku. Ya! Penyakit kanker otak. Aku telah mengidam penyakit ini sejak aku berusia 10 tahun. Tepat 2 bulan sebelum mama papaku meninggal, aku mulai menderita penyakit kanker otak. Dan kini, penyakitku sudah parah dan yang hanya tau tentang penyakitku ini hanyalah keluarga yang berada di sekelilingku. Sekalipun sahabat sahabatku yang telah 2 tahun selalu bersamaku tak mengetahui tentang penyakitku karna semua ini aku sembunyikan.

Tak lama, seorang dokter pun datang dan memeriksaku. Kata yang aku dengar setelah dokter itu memeriksaku adalah “Shilla tidak apa apa. Hanya saja terlalu capek sehingga berhubungan dengan penyakitnya.” ujar sang dokter sependengarku lalu menyuntikan suatu cairan kedalam tubuhkuku. Tak lama, mataku terasa berat dan seketika semuanya menjadi gelap. Aku terlelap tidur.

Esoknya, aku diperbolehkan untuk sekolah. Setelah aku sampai didepan gerbang sekolahku, aku langsung keluar dari mobil kak Iel dan berjalan memasuki area sekolahku.

“Hai Shilla....” seru dua orang sahabatku yang tak lain adalah Sivia dan Nova. Mereka berlarian lalu memeluku. Dan dibelakang kedua sahabat wanitaku, terdapat dua lelaki sahabataku pula. Mereka adalah Rio dan Debo.
“Hai Vil, hai Nov” balasku lalu melepaskan pelukan dari sahabatku itu. “Hai Rio. Hari Deb” sapaku pada mereka.
“Hai Shill” balas mereka.
“Ya udah. Kita ke kelas yuk. Bentar lagi masuk lho” ujarku. Kita semua lalu masuk kedalam kelas XI IPA2 karna kebetulan kami satu kelas

Seusai pulang sekolah, aku dan yang lain berniat untuk bermain sebentar ke sebuah tempat yang Rio bilang tempat itu asyik, sejuk, dan nyaman. Kami semua tertarik dan tanpa membuang waktu, kita pergi ke tempat itu dengan mobil yang Rio bawa.

“Waawww!!! Keren banget nih bukit!” kagumku setelah sampai di tempat yang Rio maksud.

Tempat yang begitu indah. Sebuah bukit yang cukup luas dan indah yang kulihat saat itu. Dan tak lupa, pemandangan yang sangat indah dan tak pernah kulihat sebelumnya dapat kulihat pula saat itu.

“Yap. Bukitanya keren kan? Aku tau bukit ini dari temen kecilku. Waktu dia ulang tahun, dia mengundangku datang ke acaranya. Dan tempatnya disini. Ya pertama kali aku kesini aku udah suka banget. Tapi ternyata pemandangannya lebih indah dimalam hari. Bintang bintang terlihat sangat jelas sekali. Sejak saat itu, aku sering dateng ke tempat ini.” ucap Rio.
“Emang ini namanya bukit apa sih?” tanya Sivia pada Rio.
“Sebenernya aku ga tau ini bukit namanya apa. Tapi, gara gara bukit ini dimalam hari banyak bintangnya, jadi aja aku sebut ini adalah bukit bintang” jawab Rio.
“Ingin rasanya aku malam ini dateng kesini. Tapi kayanya mustahil dehh” ucapku tiba tiba.
“Kenapa mustahil?” tanya Debo bingung mendengar ucapanku.
“Ya ga mungkin lah. Kalo malam hari aku pergi kesini, bisa bisa tuh ya pe...” aku teringat seseuatu ‘ups!’ hampir aku keceplosan membongkar rahasia tentangku.
“Pe? Pe apa Shil?” tanya Nova. Kali ini, aku membuat sahabatku bingung.
“Pe...Pe...” aku pun sama, bingung untuk mencari alasan. “Ga kenapa kenapa. Udahlah lupakan!” akhirnya aku hanya dapat mengalihkan pembicaraan. ‘Sorry’

Malamnya, aku berniat dan mempunyai ide yang sangat aneh. Yap! Tak lain adalah aku meminta izin untuk pergi ke bukit bintang itu. Ide aneh? Yaa! Bagiku itu adalah ide gila yang pertama kali aku pikirkan karna tak mungkin aku diizinkan untuk pergi keluar malam malam. Karna kekhawatiran kaka dan om yang takut terjadi apa apa denganku.

Aku meminta izin kepada kakaku. Awalnya, aku tidak diperbolehkan karna kondisiku yang takut menjadi down. Tapi akhirnya, aku diperbolehkan pula oleh kakak dan om ku dengan alasan aku akan pergi dengan Rio. Bahagia sekali hatiku ketika mendengar aku diizinkan untuk pergi. Dan dengan cepat aku menghubungi Rio.

“Hai Rio” sapaku awal.
“Hai Shil. Ada apa malem malem nelepon?”
“Yo, bisa temenin aku ke bukit bintang?” tanyaku balik.
“Ke bukit bintang? Mau apa? Boleh kamu? Katanya tadi mustahil? Ya aku sih oke oke aja. Kapan kesananya?” ujar Rio beruntun.
“Sekarang. Bisa?” balasku singkat karna tak mau mengulur waktu.
“Bisa kok. Aku ke rumah kamu sekarang ya”
‘klik’ aku menutup ponselku lalu bersiap siap.


“Yo,,,” desisku pelan. Rio menatapku dan aku menatapnya.
“Apa?” tanyanya lalu kembali menatap beratus ratus bintang yang menghiasi langit dimalam itu.
“Bintangnya bagus banget ya. Bener apa yang kamu bilang. Pemandangannya jauh lebih indah di malam hari dibandingkan dengan sore tadi” ujarku.
“Tuh kan. Kebukti omongan aku. Bintangnya terlihat begitu banyak. Yaaa meskipun sesekali bintangnya hanya sedikit”
“Yo, ini pertama kalinya lho aku liat bintang sebanyak dan seindah ini. Dan kamu tau, ternyata sejak beberapa menit yang lalu aku melihat bintang bintang ini, kekuatan dalam tubuhku merasa full. Dan aku yakin, jika bintang ini sedikit, aku akan melemah” ucapku entah kenapa ingin beralih kepembicaraan itu.
“Maksud kamu? Aku ga ngerti kamu kuat atau lemahnya oleh bintang ini?”
“Yang jelas, jika bintang ini banyak, maka rasa semangatku dan energi didalam tubuhku akan selalu full dan tak akan lengah seperti hari ini dan malam ini. Dan jika bintang ini sedikit, maka kondisi tubuhku akan melemah dan entahlah apa yang terjadi.”
“Kenapa bisa gitu? Emangnya kamu kenapa?” aku melihat Rio sedikit curiga.
“Haha entahlah. Lupakan saja hal itu” balasku.
Beberapa bulan berlalu. Aku sering mendatangi bukit bintang bersama sahabat sahabatku. Tetapi, sewaktu waktu ketika aku pergi bersama sahabatku ke bukit bintang, sepanjang jalan aku merasa sakit, pusing, dan sebagainya. Bertanda penyakitku akan kambuh.

‘Arrggghhhh ada apa ini?’ tanyaku dalam hati seraya memegang erat kepalaku.
“Shill, kamu ga kenapa kenapa?” tanya Nova yang melihatku.
“Ha? Ga kenapa kenapa.” jawabku berbohong.

Mobil tetap melaju. Semakin dekat dengan bukit bintang, kepalaku entah mengapa semakin sakit. Setelah sampai dibukit bintang dan Rio memparkirkan mobilnya, aku langsung keluar dari mobil Rio. Dan ‘Astaga!’ sesuatu yang sungguh menyakitkan bagiku ada dihadapanku.
“Bintang itu” desisku pelan.

Tak lama, barulah sahabat sahabatku keluar dari mobil Rio. Dan ternyata, Rio sama terkejutnya denganku. Rio langsung menatapku. Aku terdiam membisu. Rio berbolak balik menatapku dengan bintang yang ada itu. Bintang yang hanya ada dua buah untuk menghiasi langit di malam itu.
“Yahhh bintangnya cuman dua. Padahal aku kesini mau liat bintangnya” keluh Sivia.
“Iya sama. Ingin liat bintangnya” lanjut Debo.
“Ahhh takdir” sambung Nova. Tatapanku semakin sedih melihat bintang bintang itu dan melihat sahabatku yang kecewa. Kepalaku semakin sakit.
‘Arrghhh apa ucapanku dulu itu benar? Bintang ini menjadi kekuatanku. Dan sekarang, bintangnya hanya ada dua dan kepalaku menjadi sakit seperti ini seakan akan tanda penyakitku kambuh?’ batinku. Tiba tiba saja Rio menghampiriku dan menarik lenganku.
“Mau kemana kamu, yo?:” tanya Debo yang melihat Rio menarik lenganku.
“Tunggu bentar okee!!” balas Rio dari kejauhan. Tanganku tetap ditarik olehnya hingga aku dan Rio berhenti disebuah tempat yang cukup sepi.
“Shill, kamu ga kenapa kenapa kan?” tanya Rio dengan wajah panik. Aku tersentak menatap Rio.
“Mak...Maksud kamu?” tanyaku terbata bata.
“Kamu jangan bohong sama aku. Kamu sakit?” Aku hanya terdiam. Mulutku seakan akan ingin tertutup dan tak terbuka untuk berkata yang sebenarnya. “Shilla jawab!” tekan Rio memaksaku untuk menjawab.
‘Oh Tuhan, jangan biarkan sahabatku tau tentang hal ini sekarang’ batinku “Yo, aku ga kenapa kenapa. Aku baik baik aja kok. Perkataanku waktu itu hanya bercanda. Tenang aja kenapa”
“Serius? Kamu jangan bohong sama aku. Kamu jujur aja.” Rio tetap tak percaya.
“Ngga Rio! Udahlah, omonganku jangan dipercaya. Lupakanlah.” aku sedikit kesal hingga aku berkata dengan nada tinggi. Rio terdiam. Aku merasa bersalah. Mengapa aku harus kesal? Mengapa aku harus marah? Ini semua kan selahku! Suasana sunyi dan tak ada kata kata lagi yang terlontar hingga aku dan Rio kembali ke tempat sahabatku dan kembali berkumpul.

Saat itu, aku berusaha agar tetap kuat sehingga aku tak akan menyusul kedua orang tuaku. Tapi apa itu semua akan terwujud? Tidak! Kepalaku semakin sakit. Sakit sekali. Aku memegang kepalaku dengan erat.
“Shil, kamu ga kenapa kenapa?” tanya Nova padaku. Aku tak merespon dan tetap meringis.
Tak lama dari itu,, “Shilla!! Hidung kamu keluar darah! Bibir kamu juga keluar darah!” seru Debo keras padaku. Spontan semua melirik kepadaku. Sepertinya, aku tidak bisa mengelak. Saatnya mereka tau tentang penyakitku yang tlah kusembunyikan kepada mereka selama dua tahun.

Aku menyentuh hidung bawah dan ujung bibirku. Dan BENAR! Aku mengeluarkan darah dari hidung dan bibirku. Penyakitku sudah kembali kambuh dengan parah. ‘Sakitttt!!!!’ ujarku dalam hati ingin berteriak sekencang mungkin. Tiba tiba Rio mendekatiku.
“Shill, kamu ga kenapa kenapa? Jujur Shil!” tanya Rio padaku sedikit menekan. Aku sama sekali tak menggubris pertanyaan pertanyaan yang dilontarkan sahabatku. Kepalaku semakin sakit dan sakit.

Hingga akhirnya penglihatanku memburam, tubuh dan mataku pun terasa berat. Dan tak lama aku meringis kesakitan, aku mencoba dengan sekuat tenaga untuk menatap langit. Semakin mengejutkan. Perasaanku pun semakin tak karuan.
“Bin...tanggg.. ii” ya! bintang itu! Kulihat bintang yang menghiasi langit hanya tinggal satu. Aku mehela nafas dan akhirnya, semuanya menjadi gelap. Aku jatuh pingsan dan sepertinya sahabatku membawaku ke rumah sakit.


Tiba tiba, aku merasa berada disebuah lorong putih. Aku bingung ‘Dimana aku?’ dua kata yang menyelimuti benakku. Lalu, kulihat ke arah depan. Sungguh mengejutkan! Aku melihat mamah dan papahku yang berjalan mendekatiku.
“Mamah, papah?” desisku pelan ketika melihat mamah dan papah yang sudah ada dihadapanku.
“Ya. Ini mamah sama papah. Kami kesini akan menjemput kamu untuk pergi bersama kami.”
“Pergi? Pergi kemana? Pergi tinggalin kak Iel?” tanyaku dengan nada cukup tinggi.
“Ya. Pergilah maka kamu akan tenang. Tidak dilanda kekhawatiran.” Aku diam membingung. Pikiranku bercampur aduk.
“Ayo! Pegang tangan mamah dan papah.” sambung mereka lalu mengulurkan salah satu tangan mereka kepadaku.

‘Apa ini saatnya aku harus meninggalkan kak Iel, om, sahabatku termasuk Rio?’ tanyaku dalam hati. Rasa yang sangat sangat bingung melanda hatiku yang sedang tidak karuan. ‘Inilah keputusanku’ aku lalu mencoba sedikit demi sedikit menggenggam tangan mamah dan papah yang diulurkan kepadaku. Aku memejamkan mata. Tapi, seketika aku mendengar suara tangisan dan jeritan yang sangat histeris dan sangat aku kenal. Dengan cepat aku melepaskan tanganku dari kedua orang tuaku.

Aku menoleh ke arah sumber suara tersebut yang tepat berada dibelakangku. Tak disangka, aku dapat melihat suasana kamar rawatku tempat aku berbaring. Sivia yang menangis histeris membuat hatiku mulai luluh. Sekejap hatiku semakin luluh ketika melihat sahabat yang selama ini selalu setia denganku. Tak salah, ia adalah Rio. Kulihat Rio yang menangis dipundak Debo. Air matanya terlihat deras. Sedetik jantungku merasa ingin berhenti berdetak ketika melihat kak Iel yang menangis dengan menjerit kecil dihatinya. Kak Iel menangis dipelukan omku.
“Mahhh...” lirihku pelan menoleh ke arah mamah dan papahku lagi. Ternyata, mamah dan papahku tiba tiba saja menghilang “Maaf” desisku entah mengapa ingin meminta maaf. Maaf kepada orang tuaku dan maaf kepada kakak, om, dan sahabatku.

Hendaklah aku kembali menatap keadaan kamar rawatku, aku seperti ditarik jauh jauh, dan jauhhh sekali. Kepalaku seperti berputar. Kulihat ke arah atas, seketika semuanya berubah menjadi langit. Langit yang terlihat biru tua dimalam hari.
“Bintangnyaa” desisku semakin terasa pusing. Yap! Bintangnya. Tak ada sama sekali bintang yang menghiasi langit langit. Ku yakin itu nyata meskipun aku tau aku berada di dunia perbatasan ‘Mimpi’.
Tiba tiba, setitik cahaya menyinari penglihatanku. Aku telah tersadar dari pingsanku. Tanganku sedikit bergerak dan kurasa aku berkeringat. Lelah.
“Kak Iel...Ri...” desisku pelan sulit untuk berkata.
“Shilla!” seru kak Iel langsung menghampiriku dan memeluku.
“Guys, ma....” ucapanku tiba tiba terpotong.
“Kamu ga usah minta maaf atas pengrahasiaan penyakit kamu. Kita semua ngerti kok, Shill. Kita ngerti dan kita akan selalu ada disisi kamu. Jagain kamu.” jawab Rio yang mewakili semuanya.
“Makasih ya. Kak, Shilla tadi ketemu sama mamah papah. Mamah sama papah ngajak aku pergi. Pergi jauhhhh banget. Kak Iel rela kan?” Kudengar suara tangisan dari Sivia semakin kencang dan kurasakan pula air mata yang semakin deras mengalir dari Rio, Arkan, Nova, Kak Iel, dan Omku.
“Shill, kamu jangan bercanda deh. Sekarang tuh bukan saatnya bercanda!” balas Kak Iel.
“Kak, ngapain aku bohong? Ga ada gunanya. Mamah minta aku untuk pergi. Pergi,, pergi tinggalin semuanya agar aku tenang dan semuanya tenang. Ga susah susah mikirin dan ngurusin penyakitku lagi. Karna udah cukup aku buat semuanya susah gara gara aku.”
“Ga! Kamu ga boleh pergi! Kakak ga akan ngizinin kamu pergi! Ga akan!” bentak kak Iel padaku. Aku tersentak. Tapi aku hanya mengembangkan senyum manisku kepada kak Iel. “Pah! Mah! Papah sama mamah udah ga sayang lagi sama Iel? Iya kan pah mah? Kenapa papah sama mamah mau bawa Shilla? Kenapa?” teriak kak Iel menatap langit langit kamar rawatku. Berharap papah dan mamah mendengar ucapan kak Iel.
“Kak! Udah. Mamah sama papah tuh sayang sama kak Iel. Kak Iel jangan ngomong kaya gitu.”
“Kalo papah sama mamah sayang sama kak Iel, kenapa papah sama mamah mau bawa kamu pergi?!”
“Maaf ka. Mungkin menurut kakak, alasanku sangat gila. Ga logis bagi kakak, om, dan semuanya. Maaf, tapi Shilla harus pergi. Harus..” tiba tiba nafasku terasa sesak.
“KAMU MAU NINGGALIN KAKAK SENDIRIAN HEUH? IYA SHILL? JAWAB! KAMU UDAH GA SAYANG LAGI YA SAMA KAKAK! KAMU MAU KAKAK LEBIH MENDERITA KEHILANGAN KAMU?!” bentak kak Iel semakin keras. Aku terdiam dan aku menangis. Aku tau kak Iel akan sedih bahkan sedihh banget jika aku meninggalkannya. Tapi, apa aku masih pantas hidup dengan kondisiku yang berpenyakit ini? Menurutku ‘Tidak’.
“Iel, udah. Jangan bentak Shilla.” ujar omku menenangkan kak Iel.
“Ka,,, ak..” ucapanku terpotong.
“Maaf, Shill. Kakak ga bisa kendaliin emosi kakak.”
“Ga apa apa kok ka. Shilla ngerti. Ma...afff...” tiba tiba dadaku semakin sesak. “Siv, Nov, Deb,,” aku menatap Sivia, Nova, dan Debo. “Makasih ya, kalian selama ini udah buat aku seneng. Makasih ba..nyakk.. Maaf ka..lo ak..ku udah boho..ngin ka..lian. Ma..af. Ma..kasihh ba..nyak ya. Ka..lo seandai..nya aku per..gi. Jaga diri ka..lian ya. Ja..ngan sam..pai sakit. Oke?” ujarku mencoba untuk tersenyum melawan rasa sakit yang kurasakan saat itu. Kulihat derai air mata dari Via, Nova, dan Debo tak henti hentinya tuk mengalir.
“Shill, kamu ngomong apaan sih.” balas Debo.
“Ta..pi iya dulu dong?” aku mencoba untuk semakin tersenyum bahagia dibalik kesakitan.
“Shill, tapi ka..” ucapan Sivia terpotong olehku.
“Jangan nangis. Aku mohon. Jika aku pergi, ja..ngan ka..lian menangi..ss terus terusan. Aku pasti akan se..dihh.” Debo, Via, dan Nova hanya mengangguk tersedih.
“Yo” aku menatap Rio dengan dalam “Aku juga ma..u min..ta maaf sa..ma kamu. Se..lama in..ni aku uddah nyusahin kamu. Ma..af ya. Ma..kasihhh jugga ka..mu udah teme..nin aku sela..ma ini. terutam..ma temenin ak..ku ke bukit bin..tang.. Dan, ja..ngan kamu mena..ngis ya ka..lo sampai aku per..gi. Aku gaa mau liat ka..mu nangis ataupun sedih.” sambungku tersesak.
“Shill, kamu ngomong apaan sih? Kamu ga boleh ngomong kaya gitu. Kamu ga boleh pergi. Kamu pergi aku sedih, menangis terpukul akibat kepergian kamu.” balas Rio lembut.
“Ga, yo. Pasti aku pergi. Ga lama lagi. Pergi jauh, jauh dan jauh. Jangan ka..mu nangis. Kalo kammmu nangis aku ak..kan i..kut nangis tem..menin kam..mu.”
“Aku akan selalu inget sama kamu. Sampai kapan pun. Hingga mungkin sampai dunia kita tiba tiba berbeda.”
“Thanks ya yo. Ak..ku juggga akkan sela..lu inget samma ka..mu. Karna ka..mu salah sa..tu sahabat yang paling ba..ikk sama akk.ku.” Rio hanya tersenyum sedih padaku. Pandanganku lalu beralih pada om ku. “Om, makasih yaa sel..lama in..ni om udd..dah jaga..in Shilla.”
“Iya Shill. Om minta maaf ya kalo om selama ini juga udah punya salah sama Shilla.” aku hanya mengangguk dan tersenyum.

Lalu, pandanganku berpaling pada ,, ya Tuhan aku tak sanggup. Aku tak sanggup untuk berkata sekata pun pada,, kakaku, Iel. Ka Iel yang sedang menangis sejadi jadinya menatapku dengan tatapan layu, sedih, dan sebagainya. Aku ga sanggup dan,, lupakan. Aku mencoba untuk kuat.
“Ka,,” desisku. Ka Iel samakin menatapku dengan dalam dan penuh arti. Pernahkah terbayang jika kita harus meninggalkan kakak yang selama ini ada disisi kita menjadi pengganti orang tua yang telah tiada? “Ka,, maaf ya ka. Ak..ku uddah buat kak..ka sedihh. Maaf. Tapp..pi Shill..lla harrus per..gi. Maka..sih ya ka. Ka Iel sela..ma ini ud..dah ngeba..hagiain akku. Uddah ma..u jadi peng..ganti mamah samma papah. Shilla say..yang samma kak Iel. Lebbih da..ri say..yang Shilla sa..ma mamah papah. Maaf dan maka..sih ya ka.” ucapku semakin tersesak. Dada semakin sesak dan kepalaku semakin sakit seperti terbentur dengan aspal. Aku mencoba tersenyum manis kepada ka Iel meskipun air mata yang terus menerus mengalir dari mataku.
“Shill, kaka beneran ga sanggup harus kehilangan kamu. Kakak ga sanggup. Kakak harus hidup sendiri. Dan,,, . Shill, kakak juga sayang sama kamu. Tapi,, kakak mohon kamu jangan pergi. Kakak ga tau gimana jadinya kalo kamu harus pergi tinggalin kakak.” balas ka Iel padaku. Suasananya sepi. Hanya terdengar suara tangisan dari semua orang yang berada di ruang ku.
“Kakak yang ku..at ya. Kalo ka..kak kangen sama akku, tutup mata kakak ddd..an teriaklah da..lam hati kakak na..mmaku. Ak..ku yakin, kakak mung..kin akan nge..rasa kalo aku ad..da d..isisi kakak. Diluar it..tu, aku pun ak..kan selalu me..llihat kakak dari alllam yang berbeda.”
“Kakak percaya dan kakak yakin.”

Aku tersenyum indah. “Ma..af ya. Shilla ha..rus per...gi. Jagg...ga diri ka..li..an ba..ik” aku menarik nafas panjang. Kudengar suara tangisan dari siapapun semakin kencang dan deras. “Ikkk” aku menghembuskan nafas dan...

‘Jantungku berhenti untuk berdetak’

> > > > > > > > > > > > > > > > > > > > THE END > > > > > > > > > > > > > > > > > > > >

Tidak ada komentar:

Posting Komentar