Protein dalam bahan
biologi biasanya terdapat dalam bentuk ikatan fisis yang renggang maupun ikatan
kimiawi yang lebih erat dengan karbohidrat atau lemak. Karena adanya
ikatan-ikatan ini maka terbentuk senyawa-senyawa glikoprotein dan lipoprotein
yang berperan besar dalam penentuan sifat fisis bahan misalnya pada sistem
emulsi atau adonan roti.
Dengan adanya
pemanasan, protein dalam bahan makanan akan mengalami perubahan dan membentuk
persenyawaan dengan bahan lain, misalnya antara asam amino hasil perubahan
protein dengan gula-gula pereduksi yang membentuk senyawa rasa dan aroma
makanan. Protein murni dalam keadaan tidak dapat dipanaskan hanya memiliki rasa
dan aroma yang tidak berarti.
Perlakuan
pemanasan mungkin sangat diperlukan dalam bahan makanan untuk mempersiapkan
bahan hingga sesuai dengan selera konsumen. Namun pemanasan atau perlakukan
yang berlebihan dapat merusak protein sehingga mengubah nilai gizinya.
Secara rutin,
analisa protein dalam bahan makanan yang terutama adalah untuk tujuan menera jumlah kandungan protein
dalam bahan makanan. Peneraan jumlah protein dalam bahan makanan umumnya
dilakukan berdasarkan peneraan empiris (tidak langsung), yaitu melalui
penentuan kandungan N yang ada dalam bahan. Penentuan dengan cara langsung atau
absolut, misalnya dengan pemisahan, pemurnian atau penimbangan protein, akan
memberikan hasil yang lebih tepat tetapi juga sangat sukar, membutuhkan waktu
lama, keterampilan tinggi dan mahal.
Peneraan jumlah protein secara empiris yang umum
dilakukan adalah dengan menentukan jumlah nitrogen (N) yang dikandung oleh
suatu bahan. Cara penentuan ini dikembangkan oleh Kjeldahl, seorang ahli ilmu
kimia Denmark pada tahun 1883.
Dalam
penentuan protein, seharusnya hanya nitrogen yang berasal dari protein saja
yang
ditentukan. Akan tetapi secara teknis hal ini sulit sekali dilakukan dan mengingat jumlah kandungan senyawa lain selain protein dalam bahan biasanya sangat sedikit, maka penentuan jumlah N total ini tetap dilakukan untuk mewakili jumlah protein yang ada. Kadar protein yang ditentukan berdasarkan cara Kjeldahl ini dengan demikian sering disebut kadar protein kasar (crude protein).
ditentukan. Akan tetapi secara teknis hal ini sulit sekali dilakukan dan mengingat jumlah kandungan senyawa lain selain protein dalam bahan biasanya sangat sedikit, maka penentuan jumlah N total ini tetap dilakukan untuk mewakili jumlah protein yang ada. Kadar protein yang ditentukan berdasarkan cara Kjeldahl ini dengan demikian sering disebut kadar protein kasar (crude protein).
Dasar perhitungan penentuan protein menurut Kjeldahl ini
adalah hasil penelitian dan pengamatan yang menyatakan bahwa umumnya protein
alamiah mengandung unsur N rata-rata 16% (dalam protein murni). Untuk
senyawa-senyawa protein tertentu yang telah diketahui kadar unsur N-nya, maka
angka yang lebih tepat dapat dipakai. Apabila
jumlah unsur N dalam bahan telah diketahui (dengan berbagai cara) maka jumlah
protein dapat diperhitungkan dengan :
Jumlah N x
100/16 atau
Jumlah N x
6,25
Untuk campuran senyawa-senyawa protein atau yang belum
diketahui komposisi unsur penyusunnya secara pasti, maka faktor perkalian 6,25
inilah yang dipakai. Sedangkan untuk protein tertentu yang telah diketahui
komposisinya dengan lebih tepat maka faktor perkalian yang lebih tepatlah yang
dipakai. Misalnya
faktor perkalian yang telah diketahui adalah :
·
5,70 untuk protein gandum
·
6,38 untuk protein susu
·
5,55 untuk gelatin (kolagen
yang terlarut)
Penentuan protein
berdasarkan jumlah N menunjukkan protein kasar karena selain protein juga
terikut senyawa N bukan protein misalnya urea, asam nukleat, amonia, nitrat,
nitrit, asam amino, amida, purin dan pirimidin.
Analisa protein cara Kjeldahl pada dasarnya dapat dibagi
menjadi tiga tahapan yaitu destruksi, destilasi dan titrasi :
1.
Sampel didestruksi dengan
adanya asam kuat dengan bantuan katalis yang akan mengubah nitrogen amin
menjadi ion amonium.
2.
Ion amonium diubah menjadi
gas amonia yang selanjutnya dipanaskan dan didestilasi. Gas
amonia ditampung dalam larutan penampung yang larut kembali menjadi ion
amonium.
3.
Sejumlah amonia yang telah
ditampung ditentukan melalui titrasi dengan larutan baku dan selanjutnya dibuat
perhitungan.
Tahap Destruksi
Dalam tahap ini sampel dipanaskan dalam asam sulfat pekat
sehingga terjadi destruksi menjadi unsur-unsurnya. Pada tahapan ini terjadi
pemecahan ikatan polipeptida. Elemen karbon dan hidrogen teroksidasi menjadi
CO, CO2 dan H2O. Sedangkan nitrogen (N) dalam sampel akan
diubah menjadi (NH4)2SO4.
Asam sulfat
yang dipergunakan untuk destruksi diperhitungkan adanya bahan protein, lemak
dan karbohidrat. Untuk mendestruksi 1 gram protein diperlukan 9 gram asam
sulfat, untuk 1 gram lemak diperlukan 17,8 gram, sedangkan 1 gram karbohidrat
diperlukan asam sulfat yang paling banyak dan memerlukan waktu destruksi cukup
lama, maka sebaiknya lemak dihilangkan lebih dahulu sebelum destruksi
dilakukan.
Asam sulfat
yang digunakan minimum 10 mL (18,4 gram). Sampel yang dianalisa sebanyak 0,4 –
3,5 gram atau mengandung nitrogen sebanyak 0,02 – 0,04 gram. Untuk cara mikro
Kjeldahl bahan tersebut lebih sedikit lagi yaitu 10 – 30 mg.
Untuk mempercepat proses destruksi sering ditambahkan
katalisator berupa campuran Na2SO4 dan HgO ( 20:1 ).
Gunning menganjurkan menggunakan K2SO4 atau CuSO4.
Dengan penambahan katalisator tersebut titik didih asam sulfat akan dipertinggi
sehingga destruksi berjalan lebih cepat. Tiap 1 gram K2SO4
dapat menaikkan titik didih 3oC. Suhu destruksi berkisar antara 370
– 410oC.
Protein yang kaya asam amino histidin dan triptofan
umumnya memerlukan waktu yang lama dan sukar dalam destruksinya. Untuk bahan
seperti ini memerlukan katalisator yang relatif lebih banyak. Selain
katalisator yang telah disebutkan tadi, kadang-kadang juga diberikan selenium.
Selenium dapat mempercepat proses oksidasi karena selain menaikkan titik didih,
selenium juga mudah mengadakan perubahan dari valensi tinggi ke valensi rendah
atau sebaliknya.
Reaksi yang
terjadi selama destruksi bila digunakan HgO :
HgO + H2SO4 à HgSO4 + H2O
2HgSO4 à Hg2SO4 + SO2 + 2On
Hg2SO4 + 2H2SO4 à 2Hg2SO4 + 2H2SO4 + SO2
(CHON)
+ On + H2SO4 à CO2
+ H2O + (NH4)2SO4
Amonium sulfat yang terbentuk dapat bereaksi
dengan merkuri oksida membentuk senyawa kompleks.
Apabila dalam
destruksi menggunakan raksa sebagai katalisator maka sebelum proses destilasi
Hg harus diendapkan lebih dahulu dengan K2S atau dengan tiosulfat
agar senyawa kompleks merkuri-amonia pecah menjadi amonium sulfat.
Penggunaan
selenium lebih reaktif dibandingkan merkuri dan kupri sulfat, tetapi selenium
mempunyai kelemahan yaitu karena oksidasi yang sangat cepat maka nitrogennya
justru mungkin ikut hilang. Hal ini dapat diatasi dengan pemakaian selenium
yang sangat sedikit yaitu kurang dari 0,25 gram.
Berbeda
dengan merkuri, pemakaian selenium sebagai katalisator tidak perlu diberikan
perlakuan lagi sebelum destilasi dimulai. Proses destruksi sudah selesai
apabila larutan menjadi jernih atau tidak berwarna. Agar analisa lebih tepat
maka pada tahap destruksi ini dilakukan pula perlakuan blanko yaitu untuk
koreksi adanya senyawa N yang berasal dari pereaksi yang digunakan.
Tahap destilasi
Pada tahap destilasi, amonium sulfat yang larut dalam air
diubah menjadi ammonia (NH3) yang berbentuk gas dengan penambahan
NaOH sampai alkalis (pH dinaikan)dan dipanaskan. Agar selama destilasi tidak
terjadi superheating ataupun pemercikan cairan atau timbulnya gelembung
gas yang besar maka dapat ditambahkan logam zink (Zn). Ammonia yang dibebaskan
selanjutnya akan ditangkap oleh larutan asam standar.
Asam standar
yang dapat dipakai adalah asam klorida atau asam borat 4% dalam jumlah yang berlebihan.
Agar kontak antara asam dan amonia lebih baik maka diusahakan ujung tabung
destilasi tercelup sedalam mungkin dalam asam. Untuk mengetahui asam dalam
keadaan berlebih maka diberi indikator misalnya campuran indikator brom kresol
hijau dan metil merah dan indikator fenofltalein. Destilasi diakhiri bila sudah
semua amonia terdestilasi sempurna dengan ditandai destilat tidak bereaksi
basa.
Tahap titrasi
Apabila penampung destilat digunakan asam klorida maka
sisa asam klorida yang tidak bereaksi dengan amonia dititrasi dengan NaOH
standar (0,1 N). Akhir titrasi ditandai dengan tepat perubahan warna larutan
menjadi merah muda dan tidak hilang selama 30 detik bila menggunakan indikator
fenolftalein. Selisih jumlah titrasi blanko dan sampel merupakan jumlah
ekivalen nitrogen.
ml NaOH (blanko - sampel)
%N = –––––––––––––––––––––––- x N.NaOH x 14,008 x 100%
berat sampel (g) x 1000
Apabila penampung destilasi
digunakan asam borat maka banyaknya asam borat yang bereaksi dengan ammonia
dapat diketahui dengan titrasi menggunakan asam khlorida 0,1 N dengan indikator
campuran (Brom kresol hijau dan metil merah). Akhir titrasi ditandai dengan
perubahan warna larutan dari biru menjadi merah muda. Selisih jumlah titrasi
sampel dan blanko merupakan jumlah
ekivalen nitrogen.
ml HCl (blanko
- sampel)
%N = ––––––––––––––––––––––– x N.HCl x 14,008 x 100%
berat
sampel (g) x 1000
Setelah diperoleh %N, selanjutnya dihitung kadar
proteinnya dengan mengalikan suatu faktor. Besarnya faktor perkalian N menjadi
protein ini tergantung pada presentase N yang menyusun protein dalam suatu
bahan. Besarnya faktor perkalian untuk beberapa bahan disajikan pada tabel
berikut :
Tabel. Faktor
konversi N beberapa bahan pangan
Bahan
|
Faktor konversi
|
Bir, sirup, biji-bijian, ragi
|
6,25
|
Buah-buahan, teh,
anggur, malt
|
6,25
|
Makanan ternak
|
6,25
|
Beras
|
5,95
|
Roti, gandum, makaroni, mie
|
5,70
|
Kacang tanah
|
5,46
|
Kedelai
|
5,75
|
Kenari
|
5,18
|
Susu
|
6,38
|
Gelatin
|
5,55
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar