CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Jumat, 12 Juli 2013

Menganalisis Kadar Protein



Protein dalam bahan biologi biasanya terdapat dalam bentuk ikatan fisis yang renggang maupun ikatan kimiawi yang lebih erat dengan karbohidrat atau lemak. Karena adanya ikatan-ikatan ini maka terbentuk senyawa-senyawa glikoprotein dan lipoprotein yang berperan besar dalam penentuan sifat fisis bahan misalnya pada sistem emulsi atau adonan roti.
Dengan adanya pemanasan, protein dalam bahan makanan akan mengalami perubahan dan membentuk persenyawaan dengan bahan lain, misalnya antara asam amino hasil perubahan protein dengan gula-gula pereduksi yang membentuk senyawa rasa dan aroma makanan. Protein murni dalam keadaan tidak dapat dipanaskan hanya memiliki rasa dan aroma yang tidak berarti.
Perlakuan pemanasan mungkin sangat diperlukan dalam bahan makanan untuk mempersiapkan bahan hingga sesuai dengan selera konsumen. Namun pemanasan atau perlakukan yang berlebihan dapat merusak protein sehingga mengubah nilai gizinya.
Secara rutin, analisa protein dalam bahan makanan yang terutama adalah untuk tujuan menera jumlah kandungan protein dalam bahan makanan. Peneraan jumlah protein dalam bahan makanan umumnya dilakukan berdasarkan peneraan empiris (tidak langsung), yaitu melalui penentuan kandungan N yang ada dalam bahan. Penentuan dengan cara langsung atau absolut, misalnya dengan pemisahan, pemurnian atau penimbangan protein, akan memberikan hasil yang lebih tepat tetapi juga sangat sukar, membutuhkan waktu lama, keterampilan tinggi dan mahal.
       Peneraan jumlah protein secara empiris yang umum dilakukan adalah dengan menentukan jumlah nitrogen (N) yang dikandung oleh suatu bahan. Cara penentuan ini dikembangkan oleh Kjeldahl, seorang ahli ilmu kimia Denmark pada tahun 1883.
Dalam penentuan protein, seharusnya hanya nitrogen yang berasal dari protein saja yang
ditentukan. Akan tetapi secara teknis hal ini sulit sekali dilakukan dan mengingat jumlah kandungan senyawa lain selain protein dalam bahan biasanya sangat sedikit, maka penentuan jumlah N total ini tetap dilakukan untuk mewakili jumlah protein yang ada. Kadar protein yang ditentukan berdasarkan cara Kjeldahl ini dengan demikian sering disebut kadar protein kasar (crude protein).
      Dasar perhitungan penentuan protein menurut Kjeldahl ini adalah hasil penelitian dan pengamatan yang menyatakan bahwa umumnya protein alamiah mengandung unsur N rata-rata 16% (dalam protein murni). Untuk senyawa-senyawa protein tertentu yang telah diketahui kadar unsur N-nya, maka angka yang lebih tepat dapat dipakai. Apabila jumlah unsur N dalam bahan telah diketahui (dengan berbagai cara) maka jumlah protein dapat diperhitungkan dengan :

                                    Jumlah N x 100/16 atau
                                    Jumlah N x 6,25

Untuk campuran senyawa-senyawa protein atau yang belum diketahui komposisi unsur penyusunnya secara pasti, maka faktor perkalian 6,25 inilah yang dipakai. Sedangkan untuk protein tertentu yang telah diketahui komposisinya dengan lebih tepat maka faktor perkalian yang lebih tepatlah yang dipakai. Misalnya faktor perkalian yang telah diketahui adalah :
·         5,70 untuk protein gandum
·         6,38 untuk protein susu
·         5,55 untuk gelatin (kolagen yang terlarut)
            Penentuan protein berdasarkan jumlah N menunjukkan protein kasar karena selain protein juga terikut senyawa N bukan protein misalnya urea, asam nukleat, amonia, nitrat, nitrit, asam amino, amida, purin dan pirimidin.
Analisa protein cara Kjeldahl pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga tahapan yaitu destruksi, destilasi dan titrasi :
1.      Sampel didestruksi dengan adanya asam kuat dengan bantuan katalis yang akan mengubah nitrogen amin menjadi ion amonium.
2.      Ion amonium diubah menjadi gas amonia yang selanjutnya dipanaskan dan didestilasi. Gas amonia ditampung dalam larutan penampung yang larut kembali menjadi ion amonium.
3.      Sejumlah amonia yang telah ditampung ditentukan melalui titrasi dengan larutan baku dan selanjutnya dibuat perhitungan.

Tahap Destruksi
            Dalam tahap ini sampel dipanaskan dalam asam sulfat pekat sehingga terjadi destruksi menjadi unsur-unsurnya. Pada tahapan ini terjadi pemecahan ikatan polipeptida. Elemen karbon dan hidrogen teroksidasi menjadi CO, CO2 dan H2O. Sedangkan nitrogen (N) dalam sampel akan diubah menjadi (NH4)2SO4.
Asam sulfat yang dipergunakan untuk destruksi diperhitungkan adanya bahan protein, lemak dan karbohidrat. Untuk mendestruksi 1 gram protein diperlukan 9 gram asam sulfat, untuk 1 gram lemak diperlukan 17,8 gram, sedangkan 1 gram karbohidrat diperlukan asam sulfat yang paling banyak dan memerlukan waktu destruksi cukup lama, maka sebaiknya lemak dihilangkan lebih dahulu sebelum destruksi dilakukan.
Asam sulfat yang digunakan minimum 10 mL (18,4 gram). Sampel yang dianalisa sebanyak 0,4 – 3,5 gram atau mengandung nitrogen sebanyak 0,02 – 0,04 gram. Untuk cara mikro Kjeldahl bahan tersebut lebih sedikit lagi yaitu 10 – 30 mg.
            Untuk mempercepat proses destruksi sering ditambahkan katalisator berupa campuran Na2SO4 dan HgO ( 20:1 ). Gunning menganjurkan menggunakan K2SO4 atau CuSO4. Dengan penambahan katalisator tersebut titik didih asam sulfat akan dipertinggi sehingga destruksi berjalan lebih cepat. Tiap 1 gram K2SO4 dapat menaikkan titik didih 3oC. Suhu destruksi berkisar antara 370 – 410oC.
            Protein yang kaya asam amino histidin dan triptofan umumnya memerlukan waktu yang lama dan sukar dalam destruksinya. Untuk bahan seperti ini memerlukan katalisator yang relatif lebih banyak. Selain katalisator yang telah disebutkan tadi, kadang-kadang juga diberikan selenium. Selenium dapat mempercepat proses oksidasi karena selain menaikkan titik didih, selenium juga mudah mengadakan perubahan dari valensi tinggi ke valensi rendah atau sebaliknya.
Reaksi yang terjadi selama destruksi bila digunakan HgO :
HgO + H2SO4                                                 à     HgSO4 + H2O
2HgSO4                                                                  à     Hg2SO4 + SO2 + 2On
Hg2SO4 + 2H2SO4                                    à     2Hg2SO4 + 2H2SO4 + SO2
(CHON) + On + H2SO4           à     CO2 + H2O + (NH4)2SO4        
           Amonium sulfat yang terbentuk dapat bereaksi dengan merkuri oksida membentuk senyawa kompleks.
Apabila dalam destruksi menggunakan raksa sebagai katalisator maka sebelum proses destilasi Hg harus diendapkan lebih dahulu dengan K2S atau dengan tiosulfat agar senyawa kompleks merkuri-amonia pecah menjadi amonium sulfat.
Penggunaan selenium lebih reaktif dibandingkan merkuri dan kupri sulfat, tetapi selenium mempunyai kelemahan yaitu karena oksidasi yang sangat cepat maka nitrogennya justru mungkin ikut hilang. Hal ini dapat diatasi dengan pemakaian selenium yang sangat sedikit yaitu kurang dari 0,25 gram.
Berbeda dengan merkuri, pemakaian selenium sebagai katalisator tidak perlu diberikan perlakuan lagi sebelum destilasi dimulai. Proses destruksi sudah selesai apabila larutan menjadi jernih atau tidak berwarna. Agar analisa lebih tepat maka pada tahap destruksi ini dilakukan pula perlakuan blanko yaitu untuk koreksi adanya senyawa N yang berasal dari pereaksi yang digunakan.

Tahap destilasi
            Pada tahap destilasi, amonium sulfat yang larut dalam air diubah menjadi ammonia (NH3) yang berbentuk gas dengan penambahan NaOH sampai alkalis (pH dinaikan)dan dipanaskan. Agar selama destilasi tidak terjadi superheating ataupun pemercikan cairan atau timbulnya gelembung gas yang besar maka dapat ditambahkan logam zink (Zn). Ammonia yang dibebaskan selanjutnya akan ditangkap oleh larutan asam standar.
Asam standar yang dapat dipakai adalah asam klorida atau asam borat 4% dalam jumlah yang berlebihan. Agar kontak antara asam dan amonia lebih baik maka diusahakan ujung tabung destilasi tercelup sedalam mungkin dalam asam. Untuk mengetahui asam dalam keadaan berlebih maka diberi indikator misalnya campuran indikator brom kresol hijau dan metil merah dan indikator fenofltalein. Destilasi diakhiri bila sudah semua amonia terdestilasi sempurna dengan ditandai destilat tidak bereaksi basa.

Tahap titrasi
            Apabila penampung destilat digunakan asam klorida maka sisa asam klorida yang tidak bereaksi dengan amonia dititrasi dengan NaOH standar (0,1 N). Akhir titrasi ditandai dengan tepat perubahan warna larutan menjadi merah muda dan tidak hilang selama 30 detik bila menggunakan indikator fenolftalein. Selisih jumlah titrasi blanko dan sampel merupakan jumlah ekivalen nitrogen.
              ml NaOH (blanko  - sampel)
%N  = –––––––––––––––––––––––-  x N.NaOH x 14,008 x 100%
               berat sampel (g) x 1000
           
            Apabila penampung destilasi digunakan asam borat maka banyaknya asam borat yang bereaksi dengan ammonia dapat diketahui dengan titrasi menggunakan asam khlorida 0,1 N dengan indikator campuran (Brom kresol hijau dan metil merah). Akhir titrasi ditandai dengan perubahan warna larutan dari biru menjadi merah muda. Selisih jumlah titrasi sampel dan  blanko merupakan jumlah ekivalen nitrogen.
                     ml HCl (blanko  - sampel)
%N  = –––––––––––––––––––––––    x N.HCl x 14,008 x 100%
                    berat sampel (g) x 1000

Setelah diperoleh %N, selanjutnya dihitung kadar proteinnya dengan mengalikan suatu faktor. Besarnya faktor perkalian N menjadi protein ini tergantung pada presentase N yang menyusun protein dalam suatu bahan. Besarnya faktor perkalian untuk beberapa bahan disajikan pada tabel berikut :

Tabel. Faktor konversi N beberapa bahan pangan
Bahan
Faktor konversi
Bir, sirup, biji-bijian, ragi
6,25
Buah-buahan, teh, anggur, malt
6,25
Makanan ternak
6,25
Beras
5,95
Roti, gandum, makaroni, mie
5,70
Kacang tanah
5,46
Kedelai
5,75
Kenari
5,18
Susu
6,38
Gelatin
5,55

Tidak ada komentar:

Posting Komentar